Citizen Journalism

AKRASA ULU LUBUKLINGGAU DIGERUS ZAMAN

Oleh Siska Permatasari Siregar dan Ferdinal Lubuklinggau 01 Maret 2022

LUBUKLINGGAU,GEBAY.co.id, -Sejumlah peneliti mensinyalir bahwa Aksara Ulu Lubuklinggau, Sumatra Selatan mulai memudar dikalangan masyarakat, khususnya generasi muda. Aksara Ulu ini tidak begitu familiar di kalangan masyarakat dan generasi muda. Di daerah tempat ditemukannya aksara tersebut, hanya ada beberapa komunitas pengiat aksara saja yang mengetahui aksara tersebut.

Perkembangan dan kemajuan zaman membuat banyaknya budaya asing yang lebih menarik untuk diadopsi oleh generasi muda sehingga banyak budaya daerah yang eksistensinya semakin hilang, terutama aksara. Dengan kondisi yang seperti ini, Aksara Ulu perlu di lestarikan dan di kembangkan sehingga dapat memberikan kontribusi positif dan sebagai ciri khas dari daerah tersebut.

Aksara adalah tradisi tulis yang keberadaannya masih ada sampai masa sekarang. Namun hanya beberapa orang saja di zaman sekarang yang familiar dengan aksara. Menurut KBBI, aksara adalah sistem tanda grafis atau simbol yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Aksara mempunya beragam bentuk dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Di beberapa daerah yang melestarikan aksara meletakkan aksara berdampingan dengan nama jalan yang ada di daerah tersebut.

Di provinsi Sumatera Selatan juga terdapat aksara yang diperkirakan sudah ada pada abad ke 17 Masehi. Aksara tersebut ditemukan di daerah-daerah uluan Sungai Musi, seperti Sungai Komering, Ogan, Lematang, Enim, Rawas, Lakitan, Rupit, Kelingi dan Beliti. Karena aksara ini banyak ditemukan di daerah ulu, maka aksara ini akrab disebut Aksara Ulu. Diperkirakan zaman dahulu hampir di seluruh pulau Sumatera menggunakan aksara yang berkerabat denga akrasa ini, yaitu aksara Kerinci, Rejang, Lampung, Rencong dan Batak.

Aksara Ulu juga dikenal dengan sebutan Aksara Kaganga. Nama Kaganga merupakan tiga huruf pertama dari aksara ini. Aksara ini memiliki 28 huruf yaitu: Ka, Ga, Nga, Ta, Da, Na, Pa, Ba, Ma,Ca, Ja, Nya, A, Sa, Ra, La, Wa, Ya, Ha, Ngga, Nta, Nca,Ngka, Nja, Mpa, Nda, Mba, dan Kha. Huruf-huruf tersebut ditulis miring ke kanan sampai 45 derajat

Aksara Ulu atau Kagana dahulunya berfungsi sebagai media dalam menyampaikan nilai-nilai kearifan lokal, mencatat hukum adat, menulis sajak atau syair, menyampaikan ajaran agama, ataupun menceritakan suatu kisah. Terjemahan Aksara Ulu oleh sejumlah peneliti menunjukkan bahwa beberapa aksaranya menceritakan tentang nabi muhammad dan ajaran agama. Dengan demikian aksara menjadi sebuah bukti dari kejayaan sebuah peradaban manusia (Arief Ikhsanudin, 2015:8)

Suwandi Syam (2015:35) mengatakankan bahwa Aksara Ulu ditemukan pertama kali di Situs Ulak Lebar. Aksara tersebut ditulis pada beberapa bilah bambu yang oleh masyarakat lokal di sebut gelupai. Tidak hanya pada bilah bambu, aksara ini juga ditemukan pada beberapa media lain, seperti kulit Pohon Halim yang dilipat-lipat dan berbentuk seperti buku. Menurut Heyne (1987:1469), Pohon Halim ini termasuk pohon kayu yang wangi seperti cendana. Selain di Pohon Halim, aksara ini juga di temukan pada pohon bambu. Terdapat juga Aksara Ulu yang ditemukan dalam bentuk naskah kertas, diantaranya adalah kertas Eropa, kertas poloh dan kertas bergaris.

Naskah Aksara Ulu ini disimpan di Museum Balaputra Dewa Palembang. Menurut Ahmad Rapanie, pustakawan di Sumatera Selatan, dalam wawancara dengan komunitas Aksara Ulu Sumsel (2022) mengatakan bahwa sejauh ini ada satu naskah yang telah diterjemahkan. Naskah tersebut memuat cerita tentang sosok Nabi Muhammad dan ajaran islam dan uniknya naskah tersebut di tulis dalam bahasa Jawa namun menggunakan Aksara Ulu

Rodiawati (40 tahun), masyarakat setempat, mengungkapkan bahwa dia tidak mengetahui adanya Aksara Ulu. Ia juga mengatakan bahwa jika akrasa tersebut ada sangat bagus untuk di lestarikan dan di perkenalkan dengan masyarakat luas. Ratna Dewi (25 Tahun) mengatakan bahwa ia hanya pernah mendengar Aksara Ulu tersebut ketika berada di lingkungan kampus dan tidak mengetahui lebih jauh tentang aksara tersebut.

Menurut Mantra (1996:10) tokoh budaya Bali dalam bukunya yang berjudul Landasan Kebudayaan Bali, masyarakat harus memiliki kesadaran akan warisan budaya yang luhur dan yang memberi makna hidup dan rasa kemuliaan pada diri sendiri. Tanpa kesadaran budaya yang kuat, budaya-budaya daerah akan mengalami tantangan yang besar dari segi eksistensinya. Aziz Ahmad (2017:23) dalam jurnal budaya nusantara juga mengatakan pentingnya peran serta warga negara untuk melestarikan aksara daerah sebagai salah satu budaya warisan budaya yang tidak lagi di praktikkan atau diwacanakan oleh masyarakat pendukungnya, sehingga lambat laun generasi penerus tidak mengenal aksara daerah.

Rusmana Dewi, seorang budayawan Lubuklinggau, menjelaskan dalam wawancara dengan Linggau Pos bahwa upaya pelestarian Aksara Ulu atau Kaganga di Lubuklinggau khususnya masih terkendala. Sebagian besar masyarakat belum mengerti dan paham dengan Aksara Ulu.

Upaya pelestarian aksara ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan aksara tersebut ke dalam pembelajaran di lingkungan sekolah seperti muatan lokal. Basari (2014: 18-26), dalam tulisannya tentang penguatan kurikulum muatan lokal dalam pembelajaran di sekolah dasar, mengatakan bahwa muatan lokal merupakan hasil pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal dalam lingkungan sekolah sehingga dapat mempersiapkan siswa agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungannya serta sikap dan perilaku bersedia melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan setempat.

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, pelestarian aksara ini dapat di budayakan melalui cinderamata atau papan nama jalan sebagai identitas lokal dan daya tarik wisata. Dengan demikian, lambat laun masyarakat dan generasi muda akan tertarik dan mulai mencaritahu dan mempelajari aksara tersebut.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker