ANALISIS TEORI AGENDA SETTING MEDIA DAN TEORI RELASI KOMUNIKASI DALAM KASUS FERDY SAMBO DALAM TEWASNYA BRIGADIR J
Opini
Agenda media massa biasa menginformasikan suatu berita isu informasi bisa mempengaruhi pandangan masyarakat serta menentukan bagaimana pemerintah memuat kebijakan misalnya dalam memberitakan kasus ferdy sambo. Ini bermula karena pemberitaan kasuss pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J yang semakin disorot oleh publik.
Pengungkapan kasus pembunuhan ini membuat publik semakin penasaran sehingga membuat mereka terus mengikuti beritanya. Baik berasal dari media sosial maupun media lainnya, satu hal yang membuat masyarakat bombing ialah pengungkapan fakta yang bermula dari laporan tentang tembak-menembak Brigadir J dan Bharada E Richard Eliezer sampai fakta bahwa penembakan yang berakibat terbunuhny Brigadir J. Usai Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo mengumumkan penetapan tersangka Irjen Pol Ferdy Sambo, pada Selasa (9/8/2022), dan masyarakat menjadi sangat tertarik akan pengungkapan lebih lanjut untuk melihat apa motif yang sebenarnya di balik pembunuhan tersebut. Ketertarikann publik terlihat dari pencarian pada media sosial terkait kasus Ferdi Sambo ini.
Pemberitaan Kasus Ferdi Sambo Pemberitaan media massa tentang kasus Ferdi Sambo yang bermula ramai pada bulan Juli tahun 2022 lalu, kini menjadi headlines news pada banyak media massa serta menghebohkan masyarakat atau khalayak ramai. Ini berawal dari kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (Brigadir J) yang diduga dilakukan atasannya yaitu Irjen Ferdy Sambo. Lalu semakin hari, upaya mengungkap pembunuhan Brigjen J oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terus menyebar di media arus utama. Namun, insiden tersebut dijelaskan secara elit-sentris dan militeristik.
Pembunuhan yang merupakan akibat dari penyalahgunaan monopoli polisi dalam penggunaan kekuatan, diangkat sebagai masalah internal polisi. Masyarakat sipil dipandang sebagai aktor pasif tanpa hak atau kekuasaan untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah.
Ketika kasus ini pertama kali menjadi publik, banyak media menulis berita sedih atau sedih hanya dengan pernyataan resmi dari polisi. Polisi Nasional mengatakan Brigadir J. mengatakan dia melakukannya. Hal ini menyebabkan pengawal Ferdi Sambo, Varada E, yang mendengar teriakan Putri, terlibat baku tembak dengan Brigjen J, yang mengakibatkan kematian Brigadir J. Skenario polisi nasional tunggal ini menghiasi beberapa media selama berminggu-minggu. Skenario ini kemudian dibantah oleh temuan Tim Khusus Polri bahwa Brigjen J tewas dalam tembak-menembak, bukan tembak-menembak.
Sekalipun skenario tunggal ini terbantahkan, narasi militeristik elit-sentris dalam berita pembunuhan Brigadir Jenderal J tidak pernah surut, diikuti oleh Penggambaran polisi sebagai actor heroic dan actor sipil sebagai pihak yang tidak memiliki hak dan sering membuat kesalahan dalam melaporkan pembunuhan Brigjen J dapat melanggar keutamaan penduduk sipil. Elemen ini menggarisbawahi perlunya jurnalisme untuk membantu menjaga supremasi sipil. Namun, berbagai pemberitaan media online tentang pembunuhan Brigjen J justru menggerogoti superioritas sipil.
Sementara agenda setting media sering menggambarkan aktor sipil sebagai aktor lemah dalam pembunuhan. Brigadir Jenderal J, ada nada heroik dalam penggambaran upaya polisi untuk mengungkap kasus tersebut. Dalam pemberitaan perkembangan pembunuhan Brigjen J, media seolah selalu menggambarkan polisi. sebagai satu-satunya sumber informasi terkait jalannya kasus.
Hal ini terlihat dari maraknya buletin mengenai pembunuhan Brigjen J yang hanya mengutip pernyataan dan tanggapan. polisi tanpa investigasi dan verifikasi yang menyeluruh. Pelaporan investigasi yang dilakukan dengan disiplin pengawasan hanya ditemukan di media berbayar, dan jangkauannya tentu tidak seluas media online yang dapat diakses secara bebas. Model pelaporan ini, yang menganggap lembaga pemerintah sebagai satu-satunya sumber informasi. resmi tanpa verifikasi, dikenal sebagai truncation.
Sebuah studi oleh Jerome H. Skolnick dan Candace McCoy (1984) menemukan bahwa pemotongan adalah hal biasa di media AS ketika melaporkan upaya polisi untuk mengungkap kejahatan. Sebagian besar media AS memperlakukan informasi polisi sebagai informasi tunggal yang diterima sebagai kebenaran mutlak. Dalam model liputan ini, jurnalis mengabaikan fakta bahwa polisi adalah organisasi kompleks yang penuh dengan dimensi politik. Untuk menghindari praktik framing yang tidak seimbang antara polisi dan warga, media tidak hanya perlu memahami sumber utamanya.
James E. Guffey (1992), dalam studinya tentang hubungan media-polisi di Amerika Serikat, menyatakan bahwa ada dua jenis hubungan media-polisi. Di satu sisi, media dan polisi bisa menjadi sumber informasi satu sama lain. Media membutuhkan informasi dari polisi untuk tujuan pemberitaan, dan polisi membutuhkan bahan investigasi dari media untuk mengungkap kejahatan. Di sisi lain, terkadang hubungan antara media dan polisi tidak berjalan dengan baik. Media dapat mempertanyakan informasi resmi polisi jika lembaga tersebut menyimpang dari kepentingan publik.
Alih-alih menerima informasi resmi polisi sebagai kebenaran mutlak, media dapat melakukan. penyelidikan terperinci untuk mengidentifikasi perbedaan antara pernyataan polisi dan fakta di lapangan. Perilaku ini sesuai dengan salah satu dari sepuluh elemen jurnalisme: jurnalisme sebagai pengawas kekuasaan. Menyajikan pernyataan resmi polisi sebagai kebenaran tanpa verifikasi justru membuat media terlihat seperti pengeras suara polisi. Inilah yang melanggar hegemoni borjuis. Polisi sebagai federasi angkatan bersenjata nasional berulang kali dibahas sebagai lembaga tingkat yang lebih tinggi untuk urusan sipil.
Tantangan Agenda Setting Media Dalam kasus yang menjerat Irjen Ferdy Sambo, membuat isunya simpang siur, sehingga membuat rusak nama pribadi serta institusi terkait, yang menjadikan issue berita tersebut tidak terkendali. Hal ini jika tidak segera ditangani dengan baik maka akan menjadi momok kredibilitas pihak yang terlibat seperti departemen Polisi Republik Indonesia, Komnas HAM, LPSK, dan lainnya. Pada konteks komunikasi media massa, berita serta issue tersebut akan muncul karena persepsi dan pandangan publik itu lebih penting dari realitas, Oleh karena itu, penting pemahaman manajemen isu berbagai instansi. Kunci utama terjalin erat untuk mengekspresikan diri dalam masalah ini. Postingan yang berisi foto dan teks muncul dengan narasi masing-masing, yang akhirnya mengarah ke percakapan yang sama tentang pembunuhan Brigadir Jenderal J.
Bahkan wacana yang ditampilkan mungkin muncul atau tidak di media arus utama. Sayangnya, pernyataan yang muncul di media sosial tidak selalu dapat diverifikasi. Minimnya filter informasi dan pemilihan topik memungkinkan publik membuat spekulasi independen tentang kasus tersebut. Akibatnya, warga bisa disesatkan oleh rumor yang tidak benar. Issue ini menjadi peluang bagi media arus utama untuk membawa publik pada agenda yang tepat. Masyarakat masih berharap membutuhkan agenda media untuk mengungkap kebenaran. Media arus utama juga mengumpulkan fakta dari percakapan warga di media sosial, tetapi mereka ketat dalam memilih dan memverifikasi informasi.
Kasus tewasnya Brigadir J masih menyisakan misteri termasuk salah satunya terkait dugaan pelecehan seksual. Diketahui, dalam kasus tewasnya Brigadir J di rumah mantan Kadiv Propam Polri yang telah dipecat, Ferdy Sambo dugaan pelecehan seksual ini mengemuka sejak kasus ini mencuat. Dalam pemeriksaan, istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi tetap bersikukuh bahwa ia menerima pelecehan seksual. Lalu bagaimana menurut pakar terkait dengan dugaan pelecehan seksual yang melingkupi kasus tewasnya Brigadir J ini? Potensi adanya dugaan pelecehan seksual menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel bisa saja terjadi. Reza Indragiri Amriel tak memungkiri ada potensi pelecehan seksual dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Namun, Pakar Psikologi Forensik ini juga kemudian menjelaskan, dalam hal ini korbannya tidak mesti perempuan, dalam hal ini Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, seorang jenderal bintang dua.
Menurutnya, ada teori relasi yang memungkinkan bahwa yang menjadi korban adalah laki-laki. Reza Indragiri Amriel mengatakan, “Kita bicara tentang kekerasan seksual, teman-teman Komnas Perempuan terutama, suka sekali menggunakan teori relasi kuasa.” “Artinya kekerasan atau kejahatan seksual dilakukan oleh pihak yg dominan terhadap pihak yang submisif, pihak yang superior dan inferior, yang berkuasa terhadap yang dikuasai.”
Menurut pemahaman saya, pelecehan seksual umumnya dilakukan di daerah kekuasaan pelaku. Sementara di Duren Tiga atau di Magelang yang disebut sebagai lokasi kejadian pelecehan, bukan wilayah kekuasaan Brigadir J. “Anggaplah waktu itu pelakunya Brigadir J. Sementara daerah itu bukan dia kuasai,”. Brigadir J bukan orang yang memiliki kapasitas untuk melenyapkan rekaman CCTV yang ada di lokasi. “Dia juga tidak bisa memastikan sekian banyak orang bisa disingkirkan agar tidak menjadi saksi,”, Tak hanya itu, yakin Brigadir J bukan orang yang bisa menutup akses bagi calon korban untuk speak up. “Saya tidak membayangkan seorang brigadir berada dalam posisi yang superior.
Dengan demikian kalau kita terapkan teori relasi kuasa, justru kemungkinan yang terjadi adalah pelecehan seksual di mana korbannya adalah laki-laki, pelakunya adalah perempuan. Narasi alasan pembunuhan Brigadir J yang selalu menyangkut dugaan kekerasan atau pelecehan seksual. “Sejak awal, narasi yang terbangun oleh empat orang semuanya beraroma seks. Apakah ini kontak seks yang sifatnya konsensual, mau sama mau, yang dikemas menjadi perselingkuhan? Ataukah ini merupakan kontak seks yang tidak konsensual?”.
Kenapa Putri ngotot mengaku korban pelecehan? Ahli hukum pidana, Abdul Fikar Hadjar menilai ada dua kemungkinan terkait Putri Candrawathi yang bersikukuh menjadi korban pelecehan oleh Brigadir J.
Kemungkinan pertama adalah sekadar laporan palsu. Sementara kemungkinan kedua yakni laporan terkait dugaan pelecehan yang dilayangkan Putri Candrawathi adalah kesengajaan untuk menutup insiden yang lain yaitu pembunuhan Brigadir J. “Laporan ini sengaja ditujukan untuk menutupi peristiwa yang lain. Dalam hal ini adalah ditembaknya Brigadir J itu. Saya kira ini yang disebut penghalang-halangan untuk penegakan hukum yang sebenarnya atau obstruction of justice,”
Sehingga, Abdul Fikar menegaskan nantinya penyidik maupun jaksa penuntut umum (JPU) akan dimungkinkan mengabaikan keterangan Putri. “Kekuatan pembuktian itu tidak digantungkan pada keterangan tersangka tetapi pada keterangan saksi, ahli, alat bukti surat, dan petunjuk.” “Petunjuk itu gabungan dua alat bukti yang melahirkan satu petunjuk,” paparnya. Abdul Fikar juga mengomentari terkait disangkakannya Putri Candrawathi dengan pasal pembunuhan berencana yaitu pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP juncto pasal 55 dan 56 KUHP.
Menurutnya, hal ini dapat membuat Putri setara dalam hukum dengan pelaku utama yaitu otak dari dugaan pembunuhan terhadap Brigadir J yaitu sang suami, Ferdy Sambo. “Artinya dia (Putri Candrawathi) bagian dari peserta atau pelaku pembunuhan. Atau bahkan setidaknya, dalam konteks pelaku juga, dia yang membantu melakukan.” “Jadi sebenarnya kedudukannya sama dengan pelaku utama,” katanya.
Ibu PC juga menjelaskan dalam pemeriksaan bahwa beliau adalah korban tindakan asusila atau kekerasan seksual dalam perkara ini,” tuturnya. Menurut Arman, pengakuan Putri itu telah tertulis dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Tidak hanya itu, dirinya menjelaskan Putri juga membantah atas pasal yang disangkakan. “Keterangan klien kami juga sudah dicatat oleh penyidik dalam BAP tersebut, sekaligus penjelasan kronologis kejadian yang terjadi di Magelang,”.
Respons ayah Brigadir J soal Putri yang ngotot jadi korban pelecehan. Samuel Hutabarat Ayah Brigadir Yosua atau Brigadir J tak ambil pusing mengenai pengakuan istri Ferdy Sambo, yakni Putri Candrawathi ke penyidik saat diperiksa sebagai tersangka pembunuhan anaknya. Diketahui Putri ngotot bicara pada penyidik bahwa dirinya menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J di Magelang.
Memang, sangat sulit bagi si pelaku untuk menyatakan kejujuran, sehingga sering harus berbohong. ”Teologi kebohongan” dimaksudkan untuk menutupi fakta yang terjadi sembari berupaya memperkecil nestapa pada dirinya.
Tapi, seperti peribahasa, sepandai-pandai bangkai ditutupi, toh akan tercium jua baunya. Sebab, kita percaya, kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam. Kebohongan sulit dipertahankan karena harus konsisten ”mengarang”.
Untuk menepis bahwa kita bukan pembohong, jangan dibalas dengan kata-kata karena orang sudah tak percaya dengan omongan pembohong. Karena itu, tepislah dengan aksi nyata. Buktikan bahwa kita tak berbohong.
Seperti teori komunikasi Jurgen Habermas (1954), ada paralelitas yang sesungguhnya harus dilakukan antara komunikasi yang ada dengan perbuatan dan aksi nyata. Ucapan komunikatif harus selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia.
Seseorang dikatakan telah berbohong karena tak ada paralelitas antara komunikasi yang ada dengan aksi nyata. Karena itu, mudah saja, supaya tak dikatakan sebagai pembohong, kita harus membuktikan secara nyata apa yang pernah kita ucapkan atau komunikasikan. Sebab, proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah juga konfirmasi (pembuktian). Pembuktian meliputi korelasi ucapan dengan dunia nyata secara objektif.
PENUTUP
Agenda setting adalah sebuah teori komunikasi massa yang menyatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk menentukan isu mana yang penting bagi publik.
Agenda setting menggambarkan kemampuan media berita untuk memengaruhi arti pentingnya sebuah topik kepada pandangan publik. Sedangkan korelasi dapat diartikan sebagai hubungan. Agenda media massa biasa menginformasikan suatu berita issue informasi bisa mempengaruhi pandangan masyarakat serta menentukan bagaimana pemerintah memuat kebijakan misalnya dalam memberitakan kasus ferdy sambo. Ini bermula karena pemberitaan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J yang terus disorot oleh publik.
Pengungkapan kasus pembunuhan ini membuat publik semakin penasaran sehingga membuat mereka terus mengikuti beritanya. Baik berasal dari media sosial maupun media lainnya, satu hal yang membuat masyarakat bombing ialah pengungkapan fakta yang bermula dari laporan tentang tembak menembak Brigadir J dan Bharada E Richard Eliezer.
Sementara agenda setting media sering menggambarkan aktor sipil sebagai aktor lemah dalam pembunuhan. Brigadir Jenderal J, ada nada heroik dalam penggambaran upaya polisi untuk mengungkap kasus tersebut. Dalam pemberitaan perkembangan pembunuhan Brigjen J, media seolah selalu menggambarkan polisi. sebagai satu-satunya sumber informasi terkait jalannya kasus. Hal ini terlihat dari maraknya buletin mengenai pembunuhan Brigjen J yang hanya mengutip pernyataan dan tanggapan. Polisi tanpa investigasi dan verifikasi yang menyeluruh. Pelaporan investigasi yang dilakukan dengan disiplin.